Saturday, September 27, 2008

Undang-undang Pornografi: Analisa semiotik teks Pro dan Kontra


“Undang-undang Pornografi: analisa semiotik Pro & Kontra


· Segitiga semiotik oleh Charles Sanders Peirce (1857 – 1913)

Kontra:

Wanita Inferior Hukum syariat Negara Islam Absolutisme Otoriter




UU Pornografi Pemahaman 1 Pemahaman 2 Pemahaman 3 Pemahaman 4

Pro

Pemulihan Ahlak Ketertiban Kesejahteraan Kemakmuran




UU Pornografi Pemahaman 1 Pemahaman 2 Pemahaman 3

· Tiga tataran/aspek oleh Charles Morris, yang mencakup

a) Tataran sintaksis (in praesentia) demgan menggunakan analisa Aktan dan Fungsional oleh A. J. Greimas

b) Tataran semantik (in absentia) dengan menggunakan teori signifikasi oleh Roland Barthes

c) Tataran pragmatik (verbal) dengan cara Todorov.

Kontra:

a. Tataran sintaksis (in praesentia) demgan menggunakan analisa Aktan dan Fungsional oleh A. J. Greimas

Skema aktan

Hasrat fundalementalis Islam akan Hukum/UU bersumber pada Pejabat pemerintahan

Hukum Syariat sebagai, Hukum Syariat . termasuk UU Pornografi anggota DPR, DPRD, dan MPR

hukum negara, seperti yang meletakkan wanita selayaknya

yang diterapkan di Aceh dalam Hukum Syariat.



Politikus dan pemuka Pejabat pemerintahan dan anggota Beberapa tokoh emansipasi hak

Agama Islam fundalementalis DPR, DPRD, dan MPR wanita,dan kesetaraan gender.

Pejabat pemerintahan dan anggota DPR, DPRD, dan MPR terdorong untuk mencapai hasrat fundalementalis Islam akan Hukum Syariat sebagai hukum negara, sepetri yang diterapkan di Aceh. Mereka menganggap Hukum/UU harus bersumber pada Hukum Syariat . termasuk UU Pornografi yang meletakkan wanita selayaknya dalam Hukum Syariat, padahal penempatan wanita sebagai inferior tidak lagi bisa diterima oleh umum, setelah muncul pergerakan kesetaraan gender.. Mereka didukung oleh Politikus dan pemuka Agama Islam fundalementalis, dan ditentang oleh beberapa tokoh emansipasi hak wanita,dan kesetaraan gender.

Skema Fungsional

Situasi Awal

Transformasi

Situasi Akhir

Hukum tertulis di Indonesia tidak berkiblat pada sebuah agama, melainkan merupakan negara Pancasilais.

Cobaan Awal

Cobaan Utama

Cobaan Gemilang

Anggota DPR/MPR ingin menerapkan UU Pornoaksi dan Pornografi yang dibuat mengacu pada Hukum Syariat untuk diterapkan secara Nasional, dimana hal ini meletakkan wanita secara inferior, layaknya di negara-negara berhukum syariat.

Penetapan Piagam Jakarta yang menyatakan Negara Indonesia berlandskan Keislaman.

Anggota MPR/DPR tempo dulu mengambil Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945. Namun, karena timbul pemberontakan separatisme akibat Piagam tersebut, Pembukaan UUD 1945 dianulir dengan perrnyataan “berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berazaskan Pancasila.

Penerapan UU Pendidikan untuk mendirikan Musholah dan wajib seragam muslimin dan muslimah di lingkungan sekolah Non Pemerintah, dan Non –Islam, serta keinginan masyarakat Aceh menerapkan Hukum Syariat sebagai hukum tertinggi guna menjaga ketertiban masyarakat Aceh, dan bukannya UUD 1945,. Kemudian dikenakan DOM Aceh (Daerah Operasi Militer), dan keinginan menggantikan falsafah Pancasila tidak bergejolak.

b) Tataran semantik (in absentia)

Ketika awal pembentukkan Negara Indonesia, dibentuklah UUD 1945. Di dalam perumusan bagian pembukaan UUD 1945, beberapa naskah direkomendasikan oleh MPRS dan DPRS , yang salah satunya adalah Naskah Piagam Jakarta. Di dalam naskah tersebut, tertulis pernyataan Republik Indonesia berlandaskan Ke-Islaman, yang kemudian dapat diartikan lebih luas, bahwa hukum yang berlaku di Indonesia harus tunduk kepada Hukum Syariat. Fundamentalisme Islam indentik dengan politik Islam, yang merupakan salah satu bagian kebangkitan Islam, yang mencangkup pada ide-ide, praktik-praktik, retroika dan “pengembalian” ajaran Islam pada Al-Quran, Al Sunnah. Kebangkitan ini mempengaruh umat Islam di seluruh dunia dalam aspek-aspek kehidupan sosial-politik umat islam dan sebagian besar Negara Islam[1]. Hal ini sangat membanggakan bagi para fundalementalis Islam Indonesia.

Naskah Piagam Jakarta memunculkan protes dari pemeluk Agama Kristiani yang mayoritas bermukim di Wilayah Indonesia Timur, yang menyatakan jika teks Piagam Jakarta yang akan digunakan sebagai Pembukaan UUD 1945 tidak diubah, maka mereka akan memberontak memisahkan diri dari Republik Indonesia. Muncullah pemberontakkan di Menado, Ambon, dan Irian Jaya. Demikian juga, fundalementalis Islam yang mendapatkan kekuatan hukum dari Piagam tersebut melakukan pemberontakkan untuk mendirikan Republik Indonesia Islam, seperti DI/TII, Gerakan Ibnu Hajar. Oleh karena dampak negatif yang besar saat itu, MPRS/DPRS merevisi Teks Piagam Jakarta yang disadurkan dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyakan Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengecewakan para fundalementalis Islam Indonesia, dan mereka bercita-cita menempatkan Ke-Islaman sebagai Falsafah Hukum Negara Indonesia.

MPR/DPR yang terpengaruh pandangan fundalementalis Islam terus berusaha menempatkan hukum/UU Indonesia tunduk terhadap Hukum Syariat. Gerakan Islamis mendorong rezim yang berkuasa untuk memberikan dukungan terhadap institusi dan perjuangan islam, menjadikannyua symbol dan praktik islam sebagai bagian dari pemerintahan mereka. Pemerintahan mulai diintentikkan dengan Islam, yakni dengan islamisasi hukum. Di Indonesia, konsep dan praktik hukum Islam dipadukan dengan sistem hukum sekular[2]. Fundamentalisme Islam indentik dengan politik Islam, yang merupakan salah satu bagian kebangkitan Islam, yang mencangkup pada ide-ide, praktik-praktik, retroika dan “pengembalian” ajaran Islam pada Al-Quran, Al Sunnah. Kebangkitan ini mempengaruh umat Islam di seluruh dunia dalam aspek-aspek kehidupan sosial-politik umat islam dan sebagian besar Negara Islam[3], yang salah satunya adalah Negara Indonesia.

Fenomena banyak pelajar muslim yang bersekolah di berbagai sekolah non-Pemerintah dan non-Islam, yang merupakan kelompok sekolah terbaik di Indonesia, telah membuat penetapan UU Pendidikan yang mewajibkan Sekolah Non-Pemerintah dan Non-Islam wajib mendirikan musholah. Serta pelajar muslim/ah wajib mengenakan seragam pelajar muslimin/ah di lingkungan sekolah tersebut. Hal ini melanggar otoritas pendidikan yang berlandaskan azas-azas agama terterntu, dimana pelajar dan keluarnya dengan sadar dan bertanggung-jawab tunduk dalam perjanjian pra-sekolah agar tunduk mengikuti tata cara bersekolah di lingkungan tersebut, sejalan dengan hukum kebebasan dan persaingan pasar terbuka. Konsekuensi lanjutan, sekolah tersebut membatasi pelajar muslim untuk mendapatkan pendidikan di sekola mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, MPR dan DPR mengijinkan Rakyat Aceh memperoleh keistimewaan untuk memberlakukan Hukum Syariat, selain UUD 1945, dmana segala sesuatu berlandaskan Ke-Islaman. Hal ini bertentangan dengan Batang Tubuh UUD 1945, yang menyatakan Hukum Tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945, dan tiada hukum lain yang sejajar atau lebih tinggi dari UUD 1945. Keberhasilan ini membuat MPR/DPR berpandangan fundalementalis semakin mantap menjalankan misi menghapuskan Azas Pancasila, dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berlandaskan nilai keislaman, bukannya Ketuhanan Yang Maha Esa.

Umat Islam mengajarkan bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber indentitas, makna stabilitas, legitimasi, kemajuan, kekuatan, dan harapan, “Islam adalah jalan keluar”, “the way of life”, yang tidak lagi menggunakan ideologi barat. Hal ini bentuk penerimaan modernitas, penolakan terhadap kebudayaan barat, dan rekomitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Demikian sejalan dengan pendapat Ali E. Hillel Dessouki bahwa kebangkitan Islam berusaha menggantikan hukum Barat dengan hukum Islam dalam penggunaan bahasa dan simbolisme keagamaan, perluasan pendidikan Islam, dan penerapan ajaran Islam dalam lingkup sosial, dan dominasi oposisi pemerintahan oleh kelompok Islam, dan berkembangnya solidaritas masyarakat muslim internasional.[4]

Saat ini, MPR/DPR ingin menyelesaikan kegiatan pornoaksi dan pornografi dengan mengacu pada Hukum Syariat, bukannya berdasarkan UUD 1945. Dimana UU APP (Anti Pornoaksi dan Pornografi) dibuat berdasarkan posisi wanita menurut hukum Syariat, bahwa wanita tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi muhrimnya, dan wanita wajib mengenakan Hijab untuk menutupi aurat, seperti baju panjang dan jilbab, dll. Wanita dipandang tidak dalam posisi sejajar dengan pria, selalu dipersalahkan, dan lemah dalam hukum. UU APP yang “dibutuhkan” seharusnya juga mampu menempatkan pria sebagai pihak yang bersalah dalam kaca mata hukum, sebagaimana hukum normatif, semua pihak sama di mata hukum. Penempatan UU APP yang mengacu pada Hukum Syariat, dianggap UU yang layak oleh kaum fundalementalis Islam yang bermisi letakkan Hukum Syariat sebagai landasan hukum Indonesia, sedangkan UU ini ditentang oleh kaum aktifis kesetaraan gender dan emansipasi perempuan, karena dianggap melecehkan perempuan, dan tidak sesuai lagi dengan keadaan masa kini.

c) Tataran pragmatik (verbal)

Penggunaan perihal hak dan kewajiban wanita menurut Hukum Syariat sebagai acuan dalam pembuatan UU APP,, seperti pernyataan penegasan bahwa wanita bersalah dalam setiap keadaan yang “berbau” pornoaksi dan pornografi. Wanita tidak boleh keluar di malam hari jika bukan bersama muhrimnya (pasangannya), ataupun menggunakan pakaian yang dianggap “mengundang” maka wanita tersebut pantas digiring ke dalam hukum. Tidak ada pernyataan hukum yang mengatakan kebersalahan pria dalam tindakan pornoaksi dan pornografi. Kekuatan ideologis pihak penguasa, menciptakan UU APP sebagai kedok ideologi dengan gambaran perempuan sebagai subyek sosial yang membahayakan moralitas masyarakat, yang kemudian membuat perempuan terdemoralisasi[5].

UU APP ini tidak tepat sasaran mengatasi perkara yang sebenarnya, namun lebih pada muatan politis berjangka luas, pemanipulasian hak-hak wanita.. Wanita dianggap lebih dekat pada alam, sebagai objek, dan pria dianggap subjek yang berpengetahuan yang berkuasa[6]. Permaksudan UU APP ini, sebenarnya tindakan koreksi terhadap nilai-nilai masyarakat agar kembali ke nilai-nilai berkepribadian, bermasyarakat, berkebangsaan, bernegara Indonesia. Pengkorekasian tata cara berpakaian tidak wajib mengenakan pakaian panjang, dan jilbab layaknya di Timur Tengah. Hal ini dapat dilakukan penggalakkan berpakaian tradisional Indonesia, seperti batik kebaya, baju bodo, layaknya di Negara India, yang menggenakan Baju Sari. Alangkah sayangnya, ternyata nilai-nilai masyarakat dikoreksi untuk menjadi nilai-nilai keislaman.

Penginterpertasian hukum Islam yang bersifat dinamis (harakah) dalam UU APP yang spesifik oleh pemuka agama[7], sarat dengan muatan ideologi politik. Fundamentalisme Islam, muncul sebagai saluran terjustifikasi bagi kemarahan massa terhadap pemerintah sebagai kekuatan oposisi. Setelah fundamentalis dikenal umum, kekuasaan aliran tersebut berubah menjadi kekuasaan dogmatik dan tidak toleran dan menunjukkan kegagalan politik. Fundamentalisme tersebut cenderung muncul di negara yang berdemokrasi lemah dan elit politik yang korup[8], layaknya Negara Indonesia.

Fundamentalis Islam Indonesia menghindari demokrasi dengan menggunakan dalih argumentasi yang menekan sebagai cara yang efisien untuk mewujudkan kepentingan publik[9], dan berusaha untuk merumuskan ketertiban umum, persoalan gaya hidup, agama dan praktek keagamaan berdasarkan keyakinan agamanya sendiri[10], sikap tersebut menentang demokrasi dan kedaulatan hukum, yakni klaim yang menyatakan diri mempunyai hak untuk mendominasi kehidupan publik, mendikte dan menentukan agama mana yang memperoleh kebebasan berkembang, dan mana yang tidak[11]. Melalui penerapan UU APP tersebut, kaum fundamentalis Islam telah melanggar hak orang lain dari berbagai keyakinan untuk menikmati kebebasan yang sama, dan menyebabkan agama Islam menjadi agama politik yang melewati fungsi-fungsi pokoknya[12].

Bukanlah tugas Negara untuk mengurus moral masyarakatnya, melain tugas pemuka agama dan guru. Demikian pendapat Dr Maria Farida SH, ahli hukum tata negara FH UI, bahwa tidak ada kepastian jika UU APP diberlakukan Negara akan menjamin moral dan budi pekerti menjadi lebih baik[13]. UU APP ini akan mengancam kebhinekaan dan persatuan Indonesia, karena menekankan pada keseragaman cara menari, berkarya seni dan berpakaian. UU APP ini bertentangan dengan semangat kebangsaan Negara Indonesia[14].

Pro

a. Tataran sintaksis (in praesentia) demgan menggunakan analisa Aktan dan Fungsional oleh A. J. Greimas

Skema aktan

Hasrat kebesaran Islam untuk UU Pornografi Masyarakat Indonesia

Mengembalikan akhlak

Masyarakat Indonesia pada

kesopanan norma agama mayoritas,

agama Islam.

Politikus dan pemuka Pejabat pemerintahan dan anggota Beberapa tokoh emansipasi hak

Agama Islam fundalementalis DPR, DPRD, dan MPR wanita,dan kesetaraan gender.

Pejabat pemerintahan dan anggota DPR, DPRD, dan MPR terdorong hasrat untuk mengembalikan akhlak Masyarakat Indonesia pada kesopanan norma agama mayoritas, Agama Islam. Degnan demikian mereka berusaha menciptakan sebuah Anti Pornografi dan Pornoaksi yang mengacu pada nilai keislaman, karena masyarakat Indonesia, mayoritas beragama Islam. UU APP ini berlaku terhadap seluruh Masyarakat Indonesia. UU APP ini berupakan usaha pejabat pemerintahan dan anggota DPR, DPRD, dan MPR untuk menyelesaikan permasalahan sosial tersebut, yakni dengan membatasi pergerkan wanita dengan maksud melindungi para wanita. UU mendapatkan dukungan dari beberapa politikus dan pemuka Agama Islam fundalementalis, dan ditentan oleh beberpa tokoh emansipasi hak wanita dan kesetaraan gender.

Skema Fungsional

Situasi Awal

Transformasi

Situasi Akhir

Hukum tertulis di Indonesia yang tercantum dalam KUHP sejak jaman Belanda, tidak mampu mengatasi kemerosotan moral, karena pembangunan fisik yang mengabaikan pembangunan mental spiritual bangsa.

Cobaan Awal

Cobaan Utama

Cobaan Gemilang

Anggota DPR/MPR ingin menerapkan UU Pornoaksi dan Pornografi yang dibuat mengacu pada Hukum Syariat untuk diterapkan secara Nasional, untuk mengembalikan akhlak masyarakat Indonesia pada norma-norma agama, khususnya Agama Islam sebagai agama mayoritas. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai penerapan UU APP tersebut.

Terjadi pelecehan seksual dan kegiatan pornografi dan pornoaksi yang marak yang disiarkan melalui tayangan televisi, hingga mempengaruhi perkembangan mentalistas maryarakat Indonesia.

Penerapan Hukum Syariat di Aceh, untuk mengatasi penyakit masyarakat yang kian mewabah, hingga sulit disentuh oleh hukum tertulis di Indonesia. Penerapan hukum tersebut, guna menjaga ketertiban masyarakat Aceh, membatasi kemungkinan pelecehan seksual dan tindakan pornoaksi dan pornografi.

Penerapan UU Pendidikan untuk mendirikan Musholah dan wajib seragam muslimin dan muslimah di lingkungan sekolah Non Pemerintah, dan Non –Islam.


d) Tataran semantik (in absentia)

Negara Indonesia tengah dilanda kekacauan, baik dalam hal moral, ekonomi, politik, social dan ketahanan. Perangkat hukum tertulis tidak mampu mengatasi kendala ini. Kegiatan pornoaksi dan pornografi marak disiarkan di televisi, mempertontonkan wanita sebagai objek pelecehan seksual. Penyakit masyarakat pun seperti pelacuran, aborsi dsb juga menjamur. Masyarakat merasa membutuhkan aturan yang mengawasi moral dan nilai etika yang berkembang di masyarakat[15].

Masyarakat muslim, sebagai masyarakat mayoritas berusaha membawa masyarakat Indonesia kembali pada kaidah-kaidah keagamaan, agama Islam. Ajaran Islam sebagai “the way of life”, adalah sebagai jalan keluar, merupakan satu-satunya sumber indentitas, makna stabilitas, legitimasi, kemajuan, kekuatan dan harapan yang tidak lagi menggunakan ideologi barat. Hal ini bentuk penerimaan modernitas dan rekomitmen terhadap Islam sebaai petunjuk hidup dalam dunia modern[16]. Masyarakat menginginkan hukum baru yang menciptakan masyarakat tentram dunia dan akhirat. Hukum yang bersumber pada Wahyu Tuhan, Sunnah Rasul dan Ijtihad, dimana lebih tinggi dari hukum positif lainnya, yang sekedar bersumber pada akal budi manusia[17], sebuah hukum berlandaskan Hukum Syariat. Kekuatan Kebangkitan Islam, dan gerakan Islamis mendorong pemerintah dan anggota MPR/DPR yang berkuasa untuk memberikan dukungan terhadap institusi dan perjuangan Islam. Menjadikan simbol dan praktik Islam sebagai bagian dari pemerintahan Indonesia, melalui islamisasi hukum sekular[18].

Penerapan hukum Syariat di Aceh untuk mengatasi penyakit masyarakat, menggunakan hukum yang lebih spesifik ketimbang hukum tertulis yang selama ini tidak mampu menjamah penyakit masyarakat secara kongkrit. Tak cukup sampai di situ, generasi penerus, para pelajar Indonesia yang mayoritas muslim pun harus diajarkan kaidah-kaidah Hukum Islam yang bercirikan bersumber pada Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijtihad, berdasarkan ahlak dan agama[19]. Penetapan UU Pendidikan untuk pendirian mushola, pengajaran Agama Islam kepada setiap pelajar muslim, serta pengenaan seragam sekolah muslim dirasakan sangat tepat memenuhi kebutuhan ini. Kebangkitan Islam dalam kehidupan pribadi membutuhkan peningkatan perhatian terhadap ajaran-ajaran agama, pengembangan program publikasi keagamaan, peningkatan penerapan nilai-nilai keislaman. Penerapan ini akan berdampak pada pemerintahan, hukum, pelayanan sosial dan organisasi masyarakat di Indonesia, seperti yang pernah dikatakan oleh John L. Esposito[20].

Keberhasilan Agama Islam sebagai jalan keluar masalah pun, dilanjutkan dalam penyelesaian Pornoaksi dan Pornografi, yang menampangkan tubuh wanita sebagai obyek eksploitasi seks, kecabulan dan/atau erotika. Posisi wanita wajib dikembalikan menurut ajaran Agama Islam, dengan membatasi peluang wanita untuk menjadi objek seks, tanpa harus menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan[21]. UU APP pun dibuat dengan berlandaskan kaidah-kaidah Agama Islam. Hal ini ditentang oleh kaum pembela wanita yang menganggap terjadi demoralisasi hak wanita.

e) Tataran pragmatik (verbal)

Hukum Islam atau Syariat bertujuan menciptakan masyarakat tentram dunia dan akhirat, yang bersumber pada wahyu Tuhan, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Hukum Syariat berkedudukan lebih tinggi dari hukum positif lainnya yang hanya bersumber pada akal budi manusia[22]., sehingga hukum lain tunduk terhadap Hukum Syariat.

Hukum Syariat dianggap universal (alami) yang berlaku pada kelompok Arab dan ‘Ajam (non Arab), harmonis (wasatiyah) yang menyelaraskan antara kenyataan dan fakta dengan ideal cita-cita, dinamus (harakah) yang berkemampuan bergerak dan berkembang, adaptable dengan perkembangan jaman, dengan kaidah dasar ijtihad, dan sempurna (takâmul) yang diturunkan dalam bentuk yang umum, garus besar permasalahan. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, Islam menyediakan kaidah dan patokan umum yang penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad pemuka agama[23].

Hukum Mu’amalat menetapkan hukum perihal perzinahan dan tuduhan perzinahan sebagai salah satu Hukum Syariat, Al-Ahkam al-Amaliyah yang mengatur secara khusus tata cara dalam hubungan sosial,; serta Al-Ahkam al-Khuluqiyah yang mengatur akhlak manusia kepada sesamanya[24] melalui perbuatan termasuk tata perilaku wanita menurut Islam telah menjadi dasar terapan UU APP, dengan tujuan membawa manusia pada tujuan Primer Hukum Islam (ad-darûriy), yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta, dan bukan bermaksud merendahkan wanita.

----------------------------------



[1] Samuel P. Huntinton, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ed. Kesembilan(Trans) M. Sadat Ismail. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005), 178-181

[2] Ibid., 190-191

[3] Ibid., 178-181

[4] Ibid., 178-181

[5] Triyono Lukmantoro, Ulasan Swara “Membongkar RUU Pendemoralisasi Perempuan”, Kompas (Jakarta) (29 Mei 2006): 42.

[6] Ninuk Mardiana Pambudy, resensi buku Kebertuhuhan Perempuan dalam Pornografi, oleh Syarifah, Kompas (Jakarta) (28 Mei 2006): 11.

[7] Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 52-53

[8] Prof. Dr. Thomas Meyer, Demokrasi: Sebuah Pengantar untuk Penerapan. (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stifftung, 2002), 48

[9] Ibid., 52

[10] Ibid., 47

[11] Ibid., 46

[12] Ibid., 47

[13] Kompas (Jakarta), 2 Mei 2006: 2

[14] Ninuk Mardiana Pambudy, resensi buku Kebertuhuhan Perempuan dalam Pornografi, oleh Syarifah, Kompas (Jakarta), 28 Mei 2006: 11.

[15] Ninuk Mardiana Pambudy, resensi buku Kebertuhuhan Perempuan dalam Pornografi, oleh Syarifah, Kompas (Jakarta), 28 Mei 2006: 11.

[16] Samuel P. Huntinton, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ed. Kesembilan(Trans) M. Sadat Ismail. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005), 178-181

[17] Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 13

[18] Samuel P. Huntinton, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ed. Kesembilan(Trans) M. Sadat Ismail. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005), 190-191

[19] Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 14

[20] Samuel P. Huntinton, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, ed. Kesembilan(Trans) M. Sadat Ismail. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005), 178-181

[21] Ninuk Mardiana Pambudy, resensi buku Kebertuhuhan Perempuan dalam Pornografi, oleh Syarifah, Kompas (Jakarta), 28 Mei 2006: 11.

[22] Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004), 13

[23] Ibid., 52-53

[24] Ibid., 14

Kesetaraan Gender di Uni Eropa

"Kesetaraan Gender di Uni Eropa”

Judith M. Tomasowa, SE, M.Si


UE sangat memperhatikan kesetaraan gender selama beberapa tahun ini. Uni Eropa berusaha mengatasi tingkat pengangguran wanita yang lebih tinggi dibandingkan pria. Perbedaan tingkat penggangguran wanita terhadap pria di tahun 2003 sebesar 17,2% untuk UE15, dan 16,3% untuk UE25. Walau demikian tingkat tenaga kerja wanita telah meningkat drastic sebesar 50% sejak pertengahan tahun 1990an.

Wanita yang berpendidikan rendah, wanita tua dan yang sedang menyusui terus menunjukkan “employment rate” yang menurun. Mereka berpeluang menganggur atau secara ekonomi tidak seaktif pria. Pria mendapatkan 16% lebih banyak ketimbang rata-rata wanita di UE tahun 2003. Hal ini disebabkan oleh factor keuangan, perbedaan pasar tenaga kerja, sex segregation dan struktur gaji dan karir.

Sex segregation di pasar tenaga kerja UE telah berubah, dominasi perempuan terjadi di sector kesehatan dan pelayanan social, pendidikan, administrasi publilk, dan retailing. Di lain pihak kaum pria bekerja sebagai teknisi, insyinyur dan professional keuangan, dan mereka mempunyai kesempatan 3 kali lebih besar untuk menjadi pimpinan ketimbang wanita. Keadaan masa kini dengan pemberian pendidikan tinggi bagi wanita, wanita di UE telah menduduki posisi tingkat menengah, dan mengalahkan jumlah pria dalam tingkatan kepemimpinan tinggi.

UE kemudian terus mengadakan konferensi tentang kesetaraan gender di pendidikan tinggi, seperti the 4th European Conference on Gender Equity in Higher Education at Oxford University yang dihadiri oleh 170 delegasi, dengan berbagai presentasi tentang mobilitas pekerja wanita, kebutuhan transparansi dalam keputusan dan prosedur terbuka, penyediaan dana dan penghargaan bagi wanita yang berhasil dalam pekerjaannya. Para wanita diberikan beasiswa untuk sekolah dan untuk penelitian, guna memberikan masukan kepada pemerintah local UE untuk memberikan kesempatan bagi wanita bekerja di lingkungan pekerjaan yang didominasi pria. Pemerintah UE bahkan telah mengeluarkan peraturan jurnalistik, teknisi mesin, pertambangan untuk memberikan kesempatan bagi para wanita untuk berkiprah di bidang tersebut.

Kecenderungan masyarakat patrialistik yang lebih menghargai pria sebagai komunitas, ketimbang wanita. Walau di mata hukum, semua orang berkedudukan sama, pada prakteknya, terjadi bias oleh karena budaya, sehingga diperlukan terapan hukum khusus yang berguna melindungi kesetaraan gender.

---------

Hukum dalam perspektif sosio-legal

Pemahaman “hukum” dari perspektif sosio-legal, dimana hukum tidak hanya dipandang sebagai “substansi hukum” tetapi juga sebagai sistem norma dan bagian dari budaya dianggap penting, karena:

Hukum normatif bersifat:

- Aturan tertulis

- Paxta Sur Servanda

- Dokumen Antropologis yang disesuaikan dengan kehidupan

Hukum di dalam susut pandang sosial legal merupakan:

- Dokumen antropologis yang hidup, yang tidak sekedar undang-undang karena mencakup berbagai hukum yang hidup di masyarakat (nilai, norma, berbagai kesepakatan sosial) sehingga hukum harus di tempatkan dalam realitas hidup.

- Hukum sebagai “law as it is” yang dimana hukum telah terpengaruh dengan lingkungan budaya, berbeda dengan hukum normatif yang tekstual “law as it should be”.

Di dalam masyarakat hukum juga berperan sebagai sistem norma dan bagian dari kebudayaan. Hukum bertujuan untuk mendatangkan keadilan bagi masyarakat (structural funktionalism). Paul Bouhaman mengatakan hukum adalah lembaga berganda yang dapat diartikan alat kekuasaan kelompok minoritas elit untuk menekan kelompok mayoritas yang powerless (critical legal study). Kelompok minoritas dapat menggunakan hukum untuk mempertahankan power, wealth dan privilege dengan melalui false conciousness.

Dalam kacamata normatif semua individu memiliki kesamaan posisi di depan hukum “equality before the law”, akan tercipta sesuatu yang tidak diinginkan masyarakat adat yakni pihak yang menang dan yang kalah.Di dalam masyarakat adat tidak berlaku “equality before the law” dimana hukum menjadi bermata dua. Hukum harus besifat pluralistik (pluralisme hukum) sehingga sistem hukum menjadi contested, diffused legal systems, chaning over time, interacting clusters, blurred boreder dan sensitizing concept. Dengan demikian sangat penting memahami hukum tidak hanya dari segi substansinya namun juga dalam perspektif sosia-legal.